Aku Cerdas Mengelola Emosi

Aku Ingin Cerdas Mengelola Emosi agar Saat Inner Childku Kembali Aku tetap Happy

Ketika kuliah, aku mulai berkenalan dengan perasaan suka pada lawan jenis. Sayangnya, aku nggak berani mengungkapkan apapun padanya. Karena, kupikir dia nggak memiliki hal yang sama terhadapku.

Pada saat yang bersamaan, ada cowok lain yang menyukaiku. Menurut pengakuannya begitu. Sayangnya, aku nggak memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Alasannya jelas bahwa ada orang lain yang kusuka.

Cowok yang menyukaiku mungkin berpikir untuk nggak menyerah terhadapku. Dia berusaha terus mendekatiku. Hal ini membuatku merasa defensive. Hingga, sering kali mengabaikan bahkan membentaknya di hadapan teman-teman.

Maka, muncullah label mengenai ‘Yuni si pemarah’ kala itu. Tentu, teman-teman cowok itulah yang memberikan label tersebut. Awalnya aku merasa bodoh amat. Nggak perduli. Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai nggak nyaman.

Aku Cerdas Mengelola Emosi, Yakin?

Siapa juga yang nyaman disebut sebagai si pemarah? Seolah mudah sekali menyulut emosiku. Padahal kupikir saat itu aku cerdas mengelola emosi kok. Seenggaknya aku hanya sering membentak-bentak cowok yang mengaku menyukaiku. Nggak pada yang lain.

Akhirnya, aku mulai nggak yakin dengan diriku sendiri. Dan mulai bertanya-tanya tentang benarkah aku adalah seorang yang emosional? Seolah aku nggak mengenali jati diri sendiri.

Setelah kupikirkan lagi, ternyata beberapa kali aku pernah berbicara ketus pada ayahku. Padahal jelas-jelas aku tahu bahwa itu nggak boleh. Agamaku melarangnya. Bahkan sekedar berkata ‘cih’ pada kedua orang tua saja dilarang.

Terus kenapa aku melakukannya? Ada apa denganku?

Benarkah Emosi Hanya Tentang Kemarahan saja?

Segala sesuatu yang terjadi bukan tanpa sebab. Istilahnya nggak mungkin ada asap kalau nggak ada api. Harusnya begitu pula yang terjadi denganku.

Lalu muncullah berbagai pertanyaan. Kenapa aku harus membentak cowok yang menyukaiku dulu? Apakah benar aku hanya merasa nggak suka padanya? Nggak bisakah jika berbicara baik-baik dengannya?

Atau kenapa aku harus berbicara ketus pada ayahku? Meski nggak setiap hari. Nyatanya pernah begitu. Memang apa sih yang beliau bicarakan sebelumnya? Toh seorang ayah nggak akan menjerumuskan buah hatinya ‘kan?

Nah penyebab-penyebab inilah yang harus kutemukan. Agar aku menjadi cerdas mengelola emosi di masa depan. Pun aku bisa mengenali jati diri yang sebenarnya.

Sehingga, nggak ada lagi sikap defensive pada lawan jenis yang nggak kusukai dengan emosi yang meledak-ledak. Atau enggan berkomunikasi pada orang jika membicarakan tentang topik yang nggak kusukai.

Tapi, benarkah emosi hanya tentang kemarahan saja?

Kenali Dulu Jenis-jenis Emosi Sebelum Menggali Permasalahan dalam Diri

Saat ini aku sedang mengikuti Inner Child Healing Parade for Indonesia. Dalam salah satu materi dasar yang dibawakan oleh Dr. I Gusti Rai Wiguna SpKJ adalah tentang mengenali jenis emosi.

Kata beliau, perasaan trauma atau yang terbentuk dalam inner child kita terbangun dari suasana perasaan dan emosi. Salah satunya adalah mungkin aku merasa marah pada orang yang menyukaiku hingga membentaknya nggak perduli meski di hadapan teman-teman. Atau karena suatu hal, aku bisa jadi marah pada ayahku sampai berkata ketus pada beliau.

Pertanyaannya adalah kenapa marah ini bisa muncul?

Jenis-jenis Emosi

Secara garis besar Dr. Rai menyebutkan ada enam jenis emosi, yaitu:
#1. Marah
#2. Takut
#3. Gembira
#4. Merasa Bersemangat
#5. Merasa Damai
#6. Sedih

Tapi, keenam emosi ini bukanlah emosi primer. Ada sesuatu di balik keenam emosi ini. Misal, saat aku marah pada lawan jenis yang nggak kusukai itu kenapa? Apa yang kurasakan?

Mungkin saja aku merasa frustasi karena dia terlalu mengganggu. Atau aku merasa lelah karena dia bukan orang yang kusukai dan lain sebagainya.

Nah, coba tanyakan pada diri kita! Saat mendapat pertanyaan mengenai kabar, apa sih yang sebenarnya kita rasakan?

Sebagai panduan, coba lihat lingkaran emosi berikut ini:

Lingkaran Jenis Emosi
Sumber: Materi Dr. Rai

Ada tiga lingkaran dalam gambar. Kita bisa mengenali dan memahami emosi kita dari perasaan atau emosi yang dibawa dalam setiap lingkaran.

#1. Lingkaran dalam adalah emosi dasar yaitu keenam emosi dalam garis besarnya.
#2. Lalu tanyakan pada diri sendiri kenapa kita merasakan emosi dasar ini.
#3. Saat sudah mengetahui alasannya, lalu reaksi apa yang kita berikan saat merasakan alasan tersebut.

Setelah mengetahui semua emosi yang sebenarnya, maka kita akan bisa menyelesaikan atau mengendalikan emosi kita.

Hal ini juga bisa kita lakukan untuk menganalisa emosi masa lalu (inner child) yang belum selesai. Sehingga, kita bisa mengasuh kembali inner child kita dan membuat diri kita yang dewasa lebih bahagia.

Aku Ingin Cerdas Mengelola Emosi agar Saat Inner Childku Kembali Aku tetap Happy dan Mengenali Jati Diriku Sendiri

Mengenali Jati Diri
Sumber: Pixabay.com

Jadi, masih mengakui bahwa kita sudah cerdas mengelola emosi? Tunggu dulu! Kita sudah kenal jenis-jenis emosi belum?

Penting sekali lho memetakan perasaan kita. Apalagi jika kita ingin menggali inner child dalam diri entah itu masa kecil yang bahagia terlebih inner child yang terluka.

Karena dampaknya bisa terbawa dan mempengaruhi kehidupan kita di masa dewasa. Maka, mengenali jenis-jenis emosi ini akan membantu kita untuk mengasuh kembali inner child. Sehingga, kita bisa bersikap netral saat mengingat kembali luka masa kecil.

Semoga bermanfaat.

Related Posts

24 thoughts on “Aku Ingin Cerdas Mengelola Emosi agar Saat Inner Childku Kembali Aku tetap Happy

  1. bener banget, Dulu waktu masih gadis aku termasuk yang jarang sekali marah. tapi kalau diingat bukan karena cerdas mengelola emosi tapi karena masalah aku abaikan. Emosi itu terbangun dari peristiwa yang kompleks ya

  2. semenjak punya anak ke-2, aku jadi mudah emosi dan kasar dengan anakku. aku jadi benci banget mendengar suara tangis bayi. apakah ini tandanya inner childku masih terluka? tapi semenjak anakku bersar usia 4 tahun sudah gak pernah kasar seperti mukul anak. tapi kalau marah dan ngomel-ngomel sih sering. aku sampai bertanya-tanya, kenapa sih aku bisa kasar begitu? padahal orangtuaku tidak pernah kasar padaku. atau, sebenarnya pernah cuma aku yang tidak sadar? entahlah..

    1. Nah, kalau kata para psikolog yang mendampingi perjalanan healing paradise inner child itu bisa jadi ada satu masalah yang masih kita simpan dalam alam bawah sadar. Mungkin kita berusaha melupakannya karena itu adalah pengalaman yang nggak menyenangkan. Tapi alam bawah sadar kita nggak bisa lupa. Dia bisa memunculkan kenangan-kenangan itu. Dan boleh jadi itu berdampak lebih nggak menyenangkan lagi.

  3. Baru sabtu lalu mengikuti juga seputar manajemen emosi diri, karena jujur aja setelah punya anak apalagi kerja aku bawaannya ngomel ya marah..ternyata mengenali apa itu penyebabnya ya mba makanya bisa kelola emosi..ya juga kalau dari kasus mba kayaknya emang frustrasi digangguin sama cowoknya itu jadi responnya ya marah yah

    Pengen ikutan juga deh inner child healingnya ini

    1. Biasanya kalau ada akan diinfo melalui media sosial ruang pulih, Kak. Saya mengikutinya secara gratis lho. Nah, siapa tahu nanti ada lagi. Semangat, Kakak.

  4. Mba Yuni.. Masalah inner child ini masih menjadi PR buatku, aku pernah nyoba ke psikolog juga… Intinya, psikolog itu bilang aku harus melakukan penerimaan (acceptance) atas kejadian di masa lalu agar bisa berdamai dengan inner child.

    1. Bener sih. Dari mengikuti kegiatan ini, aku memahami satu hal. Bagaimana kita bisa berdamai dengan inner child jika kita nggak mau menerimanya. Bukan penerimaan yang cenderung pasrah dan nggak bisa apa-apa lagi setelahnya. Tapi penerimaan yang oke aku memang pernah mengalami hal itu. Tapi biarlah. Aku selalu bisa mengubahnya menjadi lebih baik. Begitu sih pemahamanku, Kak.

      Semangat, Kak Monika….

  5. Jadi, emang penting banget ya tuk kenali emosi diri agar bisa mengontrol emosi itu sendiri ya.
    Saya nih klo hadapi anak-anak yang rewel nan bawel banyak maunya auto naik spanning, huhuhuhh belum lagi kalau Bapaknya ikut2 nimbrung godain segalaa, arrggghh. Jadi ingin bisa juga mengontrol diri.

  6. Jadi teringat masa lalu juga. Dulu, saya juga orang yang pemarah. Sebentar-bentar emosi. Ya, tepat banget. Saya sampai benci ke cowok yang dulu suka sama saya, tapi saya gak suka sama dia. Saya juga sampai bentak dan marah-marah ke dia. Kalau ingat, rasanya saya salah besar ke dia. Padahal dia hanya bilang suka ke saya. Belum melakukan tindakan apapun. Tapi lucunya saya, ketemu sama dia juga gak mau. Di jalan pas-pasan sama dia ya mending pilih jalan lain.

  7. aku juga setelah punya anak kedua jadi sering marah-marah apalagi kalau anak sudah berantem. mungkin memang ujiannya di situ ya dan memang ada inner child yang masih belum terselesaikan dalam diri

    1. Mungkin bisa digali kembali, Kak. Merasakan kembali apa yang ada pada masa kecil untuk kemudian mengasuh ulang. Kata coachnya kurang lebihnya begitu. Nanti kalau ada kegiatan semacam ini lagi, Kak Antung bisa ikutan, Kak.

  8. Konsekuensi proses menjadi dewasa, mulai menerima dan menjadi seperti orang-orang kebanyakan.
    Menjadi aneh masih bisa, tapi dalam porsi tidak seekstrim saat masih anak-anak.
    Iyap, benar sekali. Itu sebab mengapa sangat penting untuk selalu belajar cara mengelola emosi.

  9. Manajemen emosi ini emang penting banget sih, aku juga merasa termasuk orang yang gampang emosi, malah kadang emosi ke orang terdekat. Mungkin karena merasa aman malah melampiaskan kepada mereka, padahal mereka orang yang selalu membantu kita.

    Aku masih belum tau apakah ini salah satu penyebabnya adalah inner child, soalnya aku sendiri banyak lupa soal masa kecilnya. Lingkaran emosinya kusimpan dulu deh, nanti waktu saatnya refleksi mau kucoba untuk refleksi diri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.