Memaknai Luka Menuju Performa Bahagia

Catatan Memaknai Luka Menjadi Performa

Journal-yuni.com – Banyak orang berpikir masa kecilku sempurna. Meski kedua orang tuaku merantau ke pulau seberang, Kalimantan Tengah tepatnya, mereka selalu membawaku serta.

Nggak ada ceritanya aku dititipkan pada mbah atau kerabat, seperti keponakan-keponakanku sekarang. Membuatku bisa mendapatkan full cinta dan kasih sayang orangtua serta apa pun yang kuinginkan tanpa nanti dan tapi.

Sayangnya, nggak ada sesuatu yang sempurna dalam hidup ini. Karena kesempurnaan mutlak hanya milik Allah SWT.

Anak Kecil yang Terluka

Pada kenyataannya, masa kecilku nggak sesempurna pemikiran mereka. Meski aku harus mengakui bahwa banyak sekali masa bahagia dulu. Tapi, nggak sedikit pula kejadian yang termaknai sebagai luka.

Pertengkaran orangtua, kesibukan orangtua bekerja dan lain sebagainya cukup menjadi pemicunya. Sehingga ada anak kecil yang terluka dalam diriku. Seenggaknya aku memaknainya begitu beberapa waktu lalu.

Sebelum aku mengikuti webinar kedua dalam rangkaian acara Innerchild Healing Parade for Indonesia. Sebuah kegiatan yang terhelat atas kerja sama Ruang Pulih, IIDN dan SEO Moms tentunya.

Bagaimana Memaknai Luka Menjadi Performa: Luka Hanyalah Sebuah Makna

Pak Prasetyambrata memaknai luka menuju performa
sumber pict merupakan koleksi dari akun instagram Bapak Prasetya, https://www.instagram.com/prasetyambrata/

Pak Prasetya M. Brata, seorang Neuro-Semantics Trainer dan Meta-Coach menjelaskan bagaimana memaknai luka menjadi performa.

Pada dasarnya, apa yang kita rasakan adalah karena makna yang diberikan pada hal itu. Misal, ketika ada seorang yang mengatakan sesuatu yang seolah-olah bernada menghina pada kita.

Apabila kita memaknainya sebagai kata-kata penghinaan, maka bisa jadi kita akan merasa sakit hati dan terluka.

Berbeda ceritanya jika kita menganggapnya sebagai sesuatu yang netral. Melepaskan diri dari segala prasangka. Maka, kita nggak akan terpengaruh oleh perkataan atau tindakan apa pun. Kita menjadi biasa saja.

Maka satu hal yang perlu diingat, bahwa kita adalah seorang pemimpin. Seharusnya kitalah yang memimpin perasaan dan pikiran kita. Bukan sebaliknya.

Sehingga, kita dapat memberikan makna yang baik dan netral untuk segala sesuatu. Sekaligus mengenyahkan semua prasangka yang berpeluang menyakiti kita.

Pada akhirnya, kita bisa bangkit dari segala luka. Mencipta performa untuk sebuah bahagia. Karena sejatinya luka hanyalah sebuah makna.

Bagaimana Saya Membenci dan Menyayangi Orangtua?

Lain Pak Pras, lain pula materi dari Ibu Fena Wijaya. Seorang Life Coach & Certified Facilitator Acces Consciousness. Beliau membawakan sebuah topik yang menarik. Topik mengenai “Saya Membenci dan Menyayangi Orangtua.”

Bu Fena Wijaya menjelaskan topik saya membenci dan menyayangi orangtua

Awalnya aku mengerutkan kening kala menyimak topik ini. Bagaimana bisa kita membenci sekaligus menyayangi? Padahal dua perilaku ini adalah hal yang bertolak belakang.

Kemudian pertanyaan mengenai mungkinkah kita bisa membenci sambil menyayangi orangtua atau sebaliknya menyayangi sembari membenci mereka? Rasanya bukan sesuatu yang mustahil kala aku menggali kembali memori masa lalu.

Memaknai Luka Menjadi Performa Bahagia: Apa saja yang Terserap dalam Memori Masa Kecil Kita?

Masa kecil adalah masa-masa kita untuk meng-explore banyak hal. Mencari tahu saat melakukan hal ini apa yang akan terjadi? Ketika aku begitu apa yang akan kurasakan? Semuanya. Tanpa terkecuali.

Biasanya, orang tua akan bereaksi terhadap apa yang kita lakukan. Karena mereka lebih memahami segala resiko yang timbul. Pun kondisi yang menyertai.

Sayangnya, apa yang menurut kita hanya sebuah percobaan saat kecil. Belum tentu sama persepsinya dengan orangtua kita. Sehingga, nggak jarang kita mendengar teriakan, larangan atau kemarahan atas apa yang kita lakukan.

Misal, anak kecil tentu nggak akan paham dengan apa yang terjadi saat mencelupkan ponsel ke air. Baginya itu hanya kegiatan percobaan memasukkan benda dalam air. Mungkin ia akan girang sekali setelah berhasil.

Tapi hal ini berbeda dengan persepsi orangtua. Mereka akan memikirkan berapa biaya yang sudah tergelontorkan untuk ponsel itu. Belum lagi bagaimana nanti kondisi ponsel setelah tercelup ke air. Masih ditambah berapa biaya untuk perbaikannya.

Maka nggak mengherankan jika kemudian orangtua heboh meneriakkan sebuah larangan. Bahkan orangtua yang temperamental akan memberikan tindakan fisik. Memukul misalnya.

Apa yang akan terjadi? Hal itu akan terekam dalam ingatan kita. Saat kita melakukan kesalahan, orangtua kita akan marah. Dari situlah kita belajar sesuatu. Kemudian tanpa sadar menerapkannya pada masa dewasa dan memiliki keluarga sendiri.

Hai Universe, It’s Me. Happiness

Tanpa sadar, kita merekam segala hal sejak kecil. Menjadikannya sebuah fondasi. Dimana tanpa sadar mencipta energi yang kita keluarkan sampai masa dewasa.

Permasalahannya adalah bahasa pertama yang didengar oleh alam semesta adalah energi atau getaran yang muncul dari emosi kita. Kemudian alam semesta akan mengirimkan sesuatu yang memiliki frekuensi yang sama dengan energi tersebut.

Mudahnya begini, jika kita inginkan bahagia, maka berusahalah membentuk diri menjadi bahagia. Keluarkan energi-energi kebahagiaan yang ada dalam diri. Agar semesta mendengarnya dan mengirimkan sesuatu yang mampu menciptakan kebahagiaan juga.

Kemudian katakan pada semesta, “Hai, Universe! It’s me. Happiness.”

Bangkit dari Luka Menjadi Performa Bahagia

Kini aku telah memahami. Luka bukanlah luka saat aku nggak memaknainya seperti itu. Sehingga, aku pun mengubah cara berpikirku. Bahwa aku adalah anak perempuan satu-satunya yang ingin dilindungi. Terlepas dari batasan-batasan yang ada.

Akupun telah mulai melepaskan diri dari segala persepsi yang selama ini menghantui. Nggak perlu menyalahkan apa pun atau siapa pun atas apa yang sudah terjadi. Selanjutnya bertanggung jawab pada hidupku sendiri.

Sehingga, energi atau getaran yang muncul dari dalam diri adalah energi yang positif. Penuh rasa bahagia. Berharap semesta menangkapnya dan mengirimkan sesuatu yang memiliki frekuensi yang sama. Lalu akupun bahagia.

Terima kasih telah membaca catatan ini. Semoga dapat memberi manfaat untuk kita semua.

Related Posts

51 thoughts on “Catatan Memaknai Luka Menjadi Performa

  1. Tidak mudah memang menjadi orang tua, setelah sudah punya anak. Akhirnya dari situlah, saya mulai paham mengapa orang tua saya dulu melakukan hal tersebut. Memang tidak mudah untuk memaafkan, tapi harus berdamai dulu, mengerti, belajar bahagia, dan barulah memafkan. Keren ini acaranya.

  2. Benar mbak, kdg inner child muncrat ketika kita dewasa. Aku oun saat ini lg belajar untuk melepas hal.itu, dan mulai berdamai dg persepsi2 negatif dari orang2. Aku berpikir itu hak mereka untuk menilaiku, aku mau bahagia jd jangan jadikan itu beban.

    1. Sip… Karena kebahagiaan hanya kita yang merasakan. Orang lain mungkin akan bisa melihat. Tapi kitalah yang sejatinya bisa menggapai itu.

  3. Setelah menjadi orang tua, saya terkadang khawatir kalau anak-anak saya memiliki luka masa lalu karena orang tuanya. Makanya saya rutin ajak mereka ngobrol. Biar kami bisa sama-sama saling memahami. Karena memiliki luka masa lalu memang gak bisa dianggap remeh, ya

  4. Topiknya bagus banget.. Kejadian yang kita alami semasa kecil itu membentuk sebuah pikiran dalam diri kita yang sekarang. Akupun sampai sekarang innerchildnya masih ada dan masih belum sepenuhnya dapat berdamai dengan masa lalu.
    Yes, hanya bisa berusaha agar bisa terus merefleksikan rasa bahagia, agar sekitar kita menangkap dan mengembalikannya sebagai aura positif ke kita

    1. Asli, Kak. Materinya emang daging banget. Benar-benar menyadarkan kita kalau selama ini kita tu lebih seringnya dikendalikan oleh pikiran. Hehehe

  5. Menurut saya sulit sih kalo sudah ada luka sejak kecil, bisa mempengaruhi performa saya ketika sudah dewasa. Biasanya akan ada trauma mendalam yang sulit untuk disembuhkan…

    1. Sepakat. Makanya ada para ahli yang siap membantu kita untuk mengasuh kembali luka masa kecil kita hingga menjadi bahagia pada akhirnya, Kakak….

  6. aku pernah sepintas membaca mengenai luka pengasuhan ini di buku seputar neuro sains memang kita harus bisa handle agar tidak membekas sampai dewasa

  7. Iya, mbak. Apapun kejadian yang kita rasakan saat masih kecil, pasti membekas dalam ingatan. Terutama hala2 negatif lekatannya kuat sekali. Namun harap diingat, orang tua juga manusia biasa yang perlu dan harus belajar. Seperti kita kini menjadi orang tua jangan sampai terjadi hal2 yang membuat pikiran anak2 kalut. TFS mbak, mantap.

  8. Anak-anak sekarang memiliki banyak sekali inner child dan gak semuanya bisa disembuhkan ketika mereka dewasa, bahkan ketika mereka sendiri sudah mempunyai anak.

    Aku suka quoes Pak Prasetya di IG-nya itu. Ketika aku tidak menyukai seseorang, maka aku percaya sumber masalahnya ada pada pikiranku sendiri. Duh, semoga aku bisa jadi orang tua yang tidak menyisipkan luka masa kecil di hati anak-anakku.

    1. Iya sih ya. Kadang kita hanya menyukai sesuatu yang nggak kita sukai yang kebetulan ada pada seseorang. Dan itu bukan berarti secara keseluruhan orang itu nggak kita sukai kan ya.

  9. Saya suka banget dengan deretan kalimat ini “Jika kita inginkan bahagia, maka berusahalah membentuk diri menjadi bahagia. Keluarkan energi-energi kebahagiaan yang ada dalam diri. Agar semesta mendengarnya dan mengirimkan sesuatu yang mampu menciptakan kebahagiaan juga”. Couldn’t agree more. Karena pada kenyataannya diri kita sendirilah yang bertanggungjawab atas segala rasa yang muncul dan tumbuh dalam diri kita.

    We are what we are and we are the one whose responsible for our happiness.

  10. Materi dari pak prasetya ini berkesan banget utk saya, mba. Kadang saya terlalu melebih lebihkan apa yg sudah sya alami. Dr coach fena sya juga belajar menjadi diri yg penuh energi positif

  11. Aku pernah ada di fase menyadari inner child yang terluka. Orang tua kita tentu mencintai kita, tapi mereka juga pasti pernah berbuat salah yang menimbulkan luka. Terima bahwa hal itu menyakitkan, lalu memaafkan mereka. Rsanya plong banget. Tidak lupa, kita juga harus meminta maaf pada anak kita saat secara sadar maupun tidak sadar melukai mereka.

  12. Gimana bisa mengelola Luka menjadi bahagia kpingin deh di baca mba …judulnya bagus pentiny bnget dlm keseharian selalu ada energi yang positif. Penuh rasa bahagia. Dan semesta pasti menangkapnya dan mengirimkan sesuatu yang happy Juga

  13. Baca ini jadi teringat anak saya yang sering saya tinggal kerja. Meski sering saya ajak ngobrol, saya tanyai kesehariannya gimana, tapi saya yakin pasti ada yang kurang.. Duh jadi sedih mbak :’)

  14. Semua orang pasti memiliki luka. Aku juga tumbuh dengan luka mbak. Dan sadarnya setelah menikah dan punya anak. Innerchildku baru keluar, kemarin kalau anak tantrum aku jadi lebih tantrum. Xixixi.. Alhamdulillah sekarang bisa berkurang.

  15. Untuk move dari luka, mungkin butuh waktu. Tapi memang harus diri kitanya juga ya berarti, bagaimana memaknai luka dan menyikapinya. Inspiratif kak Yuni ❤️

    1. Hooh, Kak Fenny. Karena kalau mengharapkan orang lain yang menyembuhkan luka tapi kitanya nggak mau berusaha ya gimana gitulah. Berhasil nggak, yang ada mah malah tambah berdarah-darah. Hehehehe

  16. Banyak luka masa kecil yang terbawa hingga dewasa ya kak jadi emang harus ada solusi untuk penyembuhan supaya luka tersebut bisa sembuh sepenuhnya dan tidak menghalangi jalan ke depannya..

  17. Ga mudah sih memang melupakan luka di masa lalu. Kita harus benar-benar mau menerima dan memaafkan pengasuhan orang tua atau org terdekat yang belum tepat.

    1. Seenggaknya menerima dulu. Karena tanpa penerimaan semua nggak akan berarti apapun. Hanya bisa jalan di tempat. Beda halnya kalau kita sudah menerimanya. Maka, semua akan terasa lebih ringan. Semangat, kakak.

  18. Memang benar kok apa yang tertanam sejak dini itu memberikan efek ketika kita sudah dewasa… Dan prilaku itu akan muncul automatic. Nah ini yang sedang saya kendalikan karna mungkin masa kecil saya kurang bahagia jadi ada beberapa prilaku yang keras dan sensitif gtu🥺

  19. Ini pasti ada hubungannya dengan inner child ya Mba, sehingga sampai dewasa ada sesuatu yang ikut terbawa hingga kini. Semua orang pasti pernah punya Luka menurutku, meski beda jenisnya. Bagaimana berdamai dengan luka itu adalah salah satu proses healing. Dengan menerima semua yang pernah terjadi dan memaafkan ini adalah kedua poin terpenting menurutku

  20. Huhu iya, aku juga kayaknya masih menyimpan luka pengasuhan. Walopun aku tahu bagaimana kedua orang tua sayang aku, ada aja memori sedih yang tersimpan karena mereka. Padahal aku pun sudah berusaha memaklumi itu. Butuh pembasuhan ya. Huhu. Dan dari ini aku juga jadi mikir, apa aku begitu ke anak-anak aku. Huhuu harus banyak minta maaf ke mereka ya.

  21. Ketika luka menghampiri, saat itulah jiwa dituntut mengerti. Gak peduli muda atau tua sebuah usia. Nyatanya kehidupan meminta kita tetap berdiri tegak dan menjalaninya sepenuh hati

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.