Bahasan tentang pernikahan entah kenapa menjadi amat sensitive akhir-akhir ini. Mungkin karena memang usiaku sudah dianggap lebih dari cukup untuk melakoninya. Atau karena cibiran dari para tetangga yang seakan nggak pernah berhenti terdengar gaungnya. Aku nggak begitu memahami.
Awalnya aku merasa santai dengan urusan ini. Bagiku, semua sudah punya waktu terbaiknya masing-masing. Pun dengan pernikahanku.
Jika memang saat ini aku masih sendiri. Itu berarti waktu terbaikku menikah ya belum datang.
Tapi lama-kelamaan aku mulai jengah. Hampir setiap aku bertandang ke rumah tetangga atau saudara. Kayak nggak ada bahasan lain yang ingin mereka sampaikan. Kecuali pertanyaan, kapan kamu akan menikah, neng?
Kupikir Aku Takut Menikah
Andai pertanyaan itu nggak diikuti dengan pernyataan lainnya. Nggak masalah sama sekali. Aku bisa menanggapinya dengan senyum terbaik. Toh ini termasuk bagian dari sedekah.
Mirisnya. Selalu ada pernyataan lanjutan yang menyerta. Yaitu, kata-kata tentang jangan terlalu milihlah. Kamu sudah lebih dari cukup untuk menikah. Atau semacamnya dengan maksud sejenis.
Seolah bagi mereka, kita bisa bebas memilih. Nggak perduli gimana pun sikap pemuda itu. Bagaimana kesehariannya dan lain-lain.
Padahal, menikah adalah ibadah seumur hidup ‘kan. Kita akan hidup bersama suami mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Belum lagi tentang bagaimana kewajiban istri pada suami dan sebaliknya.
Kupikir bisa berabe urusannya kalau kitanya asal nyomot suami. Iya nggak sih?
Sampai pada satu titik aku memutuskan bertanya pada diri sendiri. Apa sebenarnya yang sedang terjadi padaku? Soalnya, bukan satu atau dua pemuda yang datang mendekat atau didatangkan kerabat. Tapi, aku terus-terusan defensive.
Merasa bahwa mereka bukan untukku. Atau aku bukan pilihan terbaik mereka. Dan pikiran-pikiran sejenisnya. Yang berakhir pada satu pertanyaan kesimpulan versiku sendiri.
Apakah sebenarnya aku takut menikah? Tapi apa alasannya? Rasanya aku perlu mengenal jati diri. Atau menelisik tentang masa lalu mungkin ada inner child yang terluka.
Kalau iya. Aku harus mencari cara untuk bisa reparenting inner child itu ‘kan.
Menemukan Sumber Ketakutanku
Awalnya aku berpikir bahwa mungkin aku terlalu mencerna fenomena orang ketiga saat ini. Teman-teman tentu masih ingat sama cerita viral di facebook tentang layangan putus.
Aku baca cerita itu nggak sampai kelar. Karena aku keburu baper dan kebawa emosi. Selain itu, aku jadi memandang semua lelaki sama dengan tokoh Mas Aris dalam cerita itu.
Tapi, seiring waktu berlalu. Aku mulai biasa saja. Sayangnya, rasaku menghadapi pernikahan masih sama. Aku masih defensive saat menghadapi mereka yang coba mendekat.
Lalu, aku teringat salah satu event bertajuk Inner Child Healing Parade for Indonesia yang beberapa waktu lalu kuikuti. Tentang innerchild therapy. Salah satu penyelenggaranya adalah Kak Intan Maria Lie yang berkolaborasi dengan Komunitas SEO Moms Community dan Ibu-ibu Doyan Nulis.
Ada Inner Child yang Terluka
Dari cerita ibuku. Aku mulai sedikit demi sedikit mengenal jati diri. Ceritanya, dulu beliau pernah menikah dengan orang Kalimantan sebelum bertemu dengan bapakku. Mereka memiliki seorang putra. Aku memanggilnya Mas Dayat.
Sebenarnya bukan cerita yang mengenakkan sih. Mirip-mirip sama cerita layangan putus. Tapi bukan ayahnya Mas Dayat yang bermasalah. Tapi emakku. Huft.
Singkat cerita, Emakku bertemu dengan ayahku. Mereka saling jatuh cinta dan bercerai dengan suami pertamanya. Lalu, emakku dan ayahku menikah.
Selayaknya manten anyar nggak melulu tentang masa-masa indah. Ayahku yang cemburu buta dan emakku yang seperti nggak ingin terkekang. Well, bukan cerita yang menyenangkan.
Bahkan ada cerita emakku pergi meninggalkan ayah dan diriku. Katanya, aku sempat sakit keras karena masalah itu.
Mungkin ada bagian diri kecilku di masa itu yang masih terluka, sakit dan menangis. Membuatku merasa ketakutan untuk sebuah pernikahan. Aku nggak tahu pasti.
Tapi kalau benar begitu mungkin sudah sepatutnya aku harus menjalani inner child therapy. Langkah awalnya sudah benar dengan mengikuti event yang tercipta dari perjalanan buku berjudul “Luka Performa Bahagia”.
Peer selanjutnya adalah bagaimana diriku mencoba reparenting innerchild tersebut. Agar masa inner child yang terluka itu berubah menjadi performa bahagia.
Yuk ikut aku follow IG @ruangpulih untuk informasi terbaru terkait innerchild. Embrace Your Inner Child and be Happy
Satu pemikiran pada “Perjalanan Menemukan Inner Child yang Terluka”