Journal Yuni – “Innalillahi Wainnailaihi Roji’un. Ampon addiggel dunnyah. Esaat mangken. Buk …, derih Karang Berek. E sok onnah ke dek sedejenah tan tretan. Sopajeh rabu dek compo’ en almarhumah. Mator sakalangkong”
Terdengar pemberitahuan duka dari pengeras suara masjid yang ada di sekitar rumahku. Biasanya aku dan mama akan bergegas untuk mendatangi rumah duka. Apalagi, letak rumahnya nggak jauh dariku.
Tapi, ada yang beda saat sebuah nama yang tersebut itu berpulang. Mamaku nggak beranjak dari kegiatannya sedikit pun. Beliau bahkan berpesan padaku untuk nggak perlu menghampiri rumah duka.
Aku yang nggak mengerti apapun tentu bertanya-tanya dalam hati. Ada apakah gerangan? Nggak seperti biasanya mamaku begini.
Ternyata, usut punya usut si ibu yang telah berpulang tadi memiliki riwayat penyakit kusta. Bahkan penyakitnya telah membuat beberapa anggota tubuhnya cacat. Sehingga, mamaku dan beberapa tetangga memutuskan untuk nggak datang ke rumahnya.
Bukan hanya itu saja. Para pelayat yang datang untuk takziah pun enggan memakan hidangan yang tersedia. Begitu pula dengan orang-orang yang mengikuti tahlilan. Mereka nggak mau mengambil bingkisan yang sudah disiapkan. Katanya, mereka takut tertular penyakit kusta yang diderita.
Oleh karena itu, biasanya keluarga penderita kusta yang berpulang akan menyiapkan bingkisan yang masih mentah. Misalnya saja mie instant, beras atau minyak goreng.
Stigma Penyakit Kusta di Masyarakat
Aku yakin, cerita mengenai para penderita kusta tersebut nggak hanya terjadi di desa tempatku tinggal. Di luar sana, masih banyak lagi penderita kusta yang terkucilkan baik oleh masyarakat bahkan keluarga sendiri.
Cerita Pak Al Qadri (Seorang yang Pernah Mengalami Kusta)
Pak Al Qadri misalnya. Beliau adalah Wakil Ketua Perhimpunan Mandiri Kusta Nasional. Selain itu, beliau juga adalah seorang yang pernah mengalami penyakit kusta.
Dalam acara talkshow yang terselenggara atas kerja sama 1minggu1cerita dan KBR tanggal 26 Januari 2022. Beliau berkesempatan menceritakan bagaimana deskriminasi yang telah dialami karena stigma penyakit kusta oleh masyarakat.
Beliau bercerita bagaimana beliau nggak boleh ke sekolah karena banyak yang takut tertular penyakitnya. Pun bagaimana beliau harus diasingkan saat ada hajatan dalam keluarga.
Hal ini tentu menjadi sangat berat. Mengingat bahwa saat tertular penyakit kusta, beliau masih berusia 6 tahun. Usia anak yang masih sangat bersemangat untuk pergi sekolah. Juga masih suka bermain dengan teman sebaya.
Sayangnya, karena stigma masyarakat pada penyakit kusta membuatnya harus terasing dari pergaulan teman sebaya. Seolah belum cukup menderita, beliau juga diminta untuk menjauh kala ada acara keluarga.
Aku menarik napas dalam-dalam saat mendengar ceritanya. Maksudku aku membayangkan saja betapa tersakitinya Pak Al Qadri kecil masa itu.
Meski kemudian ada seorang yang pernah menderita kusta akhirnya membawa beliau berobat. Dan melalui program-program pemberantasan buta aksara dan angka, beliau bisa mengenal baca dan tulis.
Kesulitan Para Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK)
Dari cerita Pak Al Qadri jelas sekali beliau mendapatkan banyak kesulitan karena stigma kusta yang terlanjur melekat di masyarakat. Salah satu contohnya saja, beliau jadi kesulitan mendapatkan akses pendidikan.
“Dulu ketika orang divonis kusta maka ujungnya akan mengalami tangan puntung, jari2 mutilasi dan sebagainya.” Pak Al Qadri
Statement beliau menunjukkan betapa orang-orang ketakutan untuk bergaul dengan pasien kusta. Selain itu, ada banyak stigma buruk lainnya terkait penyakit ini.
Misalnya saja, penderita kusta bahkan keturunannya akan kesulitan mendapatkan jodoh. Bahkan ada yang sampai menjadikan penyakit ini sebagai sumpah untuk meyakinkan orang lain.
Dr. Astrid pun memaparkan mengenai hasil survey NLR bahwa sebenarnya masyarakat mau bersosialisasi dengan OYPMK (orang yang pernah mengalami kusta). Sayangnya, mereka masih enggan berinteraksi secara dekat.
Bahkan rasanya bukan hanya Dr. Astrid yang menemukan ada keturunan OYPMK yang gagal menikah. Aku pun pernah menemukan kasus yang sama di desaku. Ada keturunan OYPMK yang nggak bisa menikah karena terhalang restu dari orang tua.
Oleh karena itu, nggak heran kalau banyak penderita kusta yang enggan mengakui penyakitnya. Mereka akan memilih untuk mengasingkan diri dari sosialisasi. Sehingga, sulit sekali pendataan kasus kusta apalagi upaya penyembuhannya.
Maka dari itu, kita butuh usaha untuk penganggulangan stigma kusta. Agar tujuan dari zero kasus kusta nggak lagi sekedar hayalan belaka.
NLR dan Penanganan Stigma Kusta
Secara global, Indonesia berada pada urutan ketiga setelah India dan Brazil dalam hal jumlah kasus penyakit kusta. Tentu, ini bukanlah sesuatu yang membanggakan. Sudah seharusnya kita mengupayakan agar Indonesia bisa mengalami penurunan jumlah kasus hingga zero penyakit kusta.
Pada tahun 2020, menurut Dr. Astrid Ferdiana, seorang Technical Advisor NLR Indonesia, masih ada 6 Propinsi yang belum bisa mengeliminasi kusta. Artinya keenam Propinsi tersebut belum bisa menekan angka kasus sampai di bawah 1/1000 penduduk.
Kelihatannya kecil ya. Tapi, coba kalau dibreakdown ke tingkat Kabupaten. 98 dari 514 Kabupaten masih menghadapi permasalahan kusta. Lalu bagaimana cara penanggulangannya?
Mengenal NLR
NLR adalah organisasi non-pemerintah (LSM) yang arahnya untuk mengeliminasi kusta dan konsekuensinya. Organisasi ini bekerja sama dengan Dinas Kesehatan, Kementrian Kesehatan dan organisasi untuk orang yang pernah mengalami kusta.
Upaya Penanggulangan Stigma Kusta oleh NLR
Ada beberapa upaya yang dilakukan oleh NLR. Dimana setiap upaya tersebut membutuhkan satu hal yang sifatnya basic sekali. Yaitu kesadaran bahwa OYPMK juga memiliki hak yang sama dengan kita.
Mereka berhak mendapatkan akses kesehatan yang lengkap, pendidikan tinggi dan hak untuk hidup. Bukan hanya itu saja, mereka juga berhak memperoleh kesempatan hukum, politik dan berpendapat. Mengapa?
Karena sejatinya, kita sama-sama manusia.
Maka dari itu, NLR melakukan beberapa kegiatan yang mengarah pada peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat, tenaga kesehatan, stakeholder, tokoh masyarakat dan agama. Mereka perlu menyadari dan mengetahui mengenai penyakit kusta dan hak penderita kusta yang sama dengan kita.
Hal ini dilakukan melalui kampanye lewat media, talkshow dan media masa. Adapun targetnya adalah berbagai kelompok masyarakat.
Selain itu, NLR juga melakukan advokasi kepada pemimpin daerah untuk lebih memperhatikan kusta.
Kusta Ternyata Bisa Sembuh dan Sulit Menular Lho
Mengutip laman alodokter, metode pengobatan utama penyakit kusta adalah dengan obat-obatan yang sifatnya antibiotik. Pengobatan ini berlangsung selama 6 bulan hingga dua tahun. Contoh antibiotiknya adalah rifampicin, dapsone, clofazimine, minocycline, dan ofloxacin.
Kalau pun penderita tinggal dengan anak kecil maka perlu dilakukan pencegahan. Hal ini bisa menggunakan obat pencegahan yang dimulai oleh Kementrian Kesehatan sejak 2 – 3 tahun yang lalu. Obat ini dikonsumsi dalam sekali minum. Ada dosis untuk dewasa dan anak-anak.
Menurut Dr. Astrid, ketika orang yang menderita penyakit kusta sudah menjalani pengobatan. Maka dia sudah nggak bisa menular lagi. Proses penularannya pun lama lho. Sekitar 2 – 5 tahun lagi.
Dr. Astrid pun memberikan analogi begini. Setiap 100 orang yang berada dalam ruangan dan terpapar bakteri kusta. Maka, yang benar-benar akan terkena penyakit kusta pun hanya dua orang saja. Dengan catatan, imunitas dari kedua orang ini sedang nggak baik.
Lagi pula kita bisa memutus rantai penularan kusta dengan cara berikut ini:
- Mendorong pasien penderita kusta untuk berobat.
- Harus mendapat dukungan sosial agar mau menghabiskan obat dan sembuh.
- Minum obat harus konsisten dalam jangka waktu lama.
- Ada obat pencegahan untuk orang yang kontak erat dengan penderita kusta
Mari Tolak Stigma Kusta, Bukan Orangnya
Kusta memang terlihat seram. Saat terlambat mendapatkan diagnosa, maka bisa menimbulkan diformitas, kelainan anatomi atau kecacatan pada bagian tubuh. Seperti mata, tangan dan kaki. Makanya, banyak yang merasa harus jaga jarak dengan penderita kusta atau OYPMK.
Padahal, kusta bisa disembuhkan. Kusta juga sulit menular. Bahkan persentase penularannya hanya 2% saja. Itu pun jika 2% itu sedang memiliki daya tahan tubuh yang buruk.
Baca juga Cara Meningkatkan Daya Tahan Tubuh
Jadi, Gaes! Mari tolak stigmanya dan bukan orangnya.
“Orang yang pernah menderita kusta harus terlibat untuk bersosialisasi mengenai kusta pada masyarakat. Agar semakin banyak yang paham bahwa penyakit ini bisa disembuhkan dan sulit menular. Sehingga, orang tidak perlu takut untuk bersosialisasi dengan penderita. Apalagi penderita yang sudah berobat.”
Referensi:
- alodokter.com/kusta diakses pada tanggal 28 Januari 2022, 10.00 WIB
- Youtube live Ruang Publik KBR dalam acara talkshow: Tolak Stigmanya, Bukan Orangnya pada tanggal 26 Januari 2022, 09.00 – 10.00 WIB
Tulisan yang sangat edukatif ini, jadi gimana pun harus nggak perlu takut sama penderita kusta ya.
Sedih ya gara-gara tidak mengerti, orang jadi mengasingkan dan menjauhi para penderita dan mantan penderita kusta padahal sebenarnya jika dilakukan pengobatan sudah tak berbahaya lagi
Sampe segitunya ya stigma ke orang yg menderita kusta. Harus digalakkan banget nih sosialisasinya biar makin aware 💪